Bagian 1 : Sejarah & Identitas Suku Moronene

Nilai-Nilai Hidup & Filosofi Leluhur

Prinsip hidup: harmoni manusia-alam-leluhur (dagaho wonua, wonua nta’pokontiorako)

Dalam pandangan hidup suku Moronene, manusia tidak berdiri sendiri. Mereka hidup berdampingan dan saling terikat dengan dua entitas penting: alam dan leluhur. Prinsip ini dikenal sebagai ” Dagaho wonua, wonua nta’pokontiorako ” yang berarti “jagalah amal/negeri maka negeri akan memberi”.

Prinsip ini bukan sekadar filosofi, tetapi menjadi dasar dari semua tindakan dan keputusan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Moronene.

Segala aktivitas—mulai dari membuka ladang, membangun rumah, hingga berburu—selalu mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kehendak alam serta restu leluhur. Sebelum membuka lahan baru, misalnya, mereka akan mengadakan ritual (mo’onto wita/mo’ooli) untuk meminta izin kepada roh penjaga alam dan memohon petunjuk leluhur. Tidak ada kegiatan besar yang dilakukan sembarangan, karena percaya bahwa pelanggaran terhadap harmoni ini bisa membawa bencana, baik secara fisik maupun spiritual.

Alam dipandang sebagai pemberi hidup sekaligus penjaga keseimbangan. Gunung, sungai, hutan, dan hewan dianggap memiliki roh atau jiwa, yang harus dihormati dan tidak disakiti. Begitu pula, leluhur yang telah meninggal

dipercaya tetap menjaga keturunan mereka dari dunia yang tidak terlihat. Oleh karena itu, hidup dengan cara serakah atau merusak dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kedua penjaga utama kehidupan: alam dan para leluhur.

Prinsip dagaho wonua, wonua nta’pokontiorako juga membentuk rasa tanggung jawab kolektif. Masyarakat adat saling mengingatkan jika ada tindakan yang dianggap melanggar nilai ini. Misalnya, jika seseorang menebang pohon besar tanpa izin atau berburu berlebihan, ia tidak hanya dimarahi oleh tetua, tapi juga diberi teguran adat karena telah “mengganggu keseimbangan.” Melalui cara ini, kearifan lokal berfungsi menjaga lingkungan secara sosial dan spiritual.

Bagi generasi muda, prinsip ini penting untuk dipahami dan dijalankan dalam kehidupan modern yang semakin jauh dari alam. Menghormati tanah, menjaga alam, dan mengenang leluhur bukanlah hal kuno, melainkan jati diri.

dagaho wonua, wonua nta’pokontiorako adalah pengingat bahwa manusia tidak akan hidup sejahtera jika melupakan akar dan penjaga hidupnya. Dalam prinsip ini, kita belajar bahwa keseimbangan bukan sekadar tujuan, tapi cara hidup.

Sistem kepercayaan dan hukum adat sebagai pelindung alam

Hutan adalah tempat hidup bagi banyak makhluk, termasuk manusia. Hutan menyediakan air bersih, udara segar, dan menjaga tanah agar tidak longsor. Namun, sekarang banyak hutan di wilayah kita yang rusak karena penebangan liar dan aktivitas tambang ilegal. Pohon-pohon ditebang tanpa izin, tanah digali dengan alat berat, dan sungai menjadi keruh akibat lumpur tambang. Ini disebut deforestasi—penghilangan hutan secara besar-besaran.

Tambang ilegal sering dilakukan tanpa aturan dan tidak memperhatikan lingkungan. Mereka masuk ke kawasan hutan adat, menebang pohon sembarangan, dan membuang limbah ke sungai.

Akibatnya, sumber air menjadi tercemar, ikan-ikan mati, dan masyarakat yang bergantung pada sungai kehilangan sumber hidupnya. Dulu air sungai bisa diminum langsung, sekarang banyak yang harus direbus dulu karena takut terkena racun.

Deforestasi juga menyebabkan tanah menjadi gundul. Tanpa pohon, air hujan tidak bisa diserap dengan baik oleh tanah. Ini membuat tanah mudah longsor dan banjir saat hujan deras. Banyak sawah dan kebun warga rusak karena banjir lumpur dari lokasi tambang. Hewan-hewan liar juga kehilangan tempat tinggal, dan sebagian masuk ke kampung karena hutan mereka sudah tidak ada.

Bagi masyarakat adat seperti suku Moronene, kerusakan hutan adalah ancaman besar. Hutan bukan hanya tempat berburu atau mengambil kayu, tetapi juga bagian dari kehidupan dan adat istiadat. Ada tempat-tempat suci di dalam hutan yang tidak boleh diganggu, seperti inalahi pue & inalahi popalia (wilayah larangan).

Ketika tambang masuk dan menghancurkan hutan, artinya mereka juga melanggar adat dan mengganggu keharmonisan antara manusia, alam, dan leluhur. Karena itu, kita sebagai generasi muda harus peduli dan berani menjaga hutan. Jangan biarkan tambang ilegal merusak warisan leluhur kita. Kita bisa ikut kampanye pelestarian lingkungan, belajar tentang hukum adat, dan menyuarakan penolakan terhadap tambang yang merusak alam. Menjaga hutan berarti menjaga hidup kita, dan menjaga masa depan anak cucu kita nanti.

Peran tokoh adat dalam menjaga keseimbangan sosial-ekologis

Tokoh adat adalah pemimpin tradisional yang dihormati dalam masyarakat adat seperti suku Moronene. Mereka bukan hanya pemimpin upacara adat, tetapi juga penjaga nilai, aturan, dan hubungan antara manusia dengan alam. Tokoh adat tahu batas-batas hutan larangan, tempat keramat, dan aturan tentang bagaimana cara hidup yang tidak merusak lingkungan. Mereka menjalankan tugas penting untuk menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan leluhur.

Dalam kehidupan sehari-hari, tokoh adat memberi contoh bagaimana hidup selaras dengan alam. Mereka mengingatkan warga agar tidak menebang pohon sembarangan, tidak membuang sampah ke sungai, dan tidak memburu hewan langka. Jika ada orang yang melanggar aturan adat, tokoh adat akan menegur atau memberikan sanksi adat. Ini bukan untuk menghukum, tapi untuk mengingatkan bahwa setiap tindakan terhadap alam punya akibat.

Selain menjaga lingkungan, tokoh adat juga menjaga hubungan sosial antarwarga. Mereka menjadi penengah jika ada konflik, dan memimpin musyawarah untuk menyelesaikan masalah. Dengan cara ini, masyarakat tetap rukun dan damai. Keharmonisan antara manusia dan alam dimulai dari kehidupan sosial yang sehat dan saling menghormati. Tokoh adat adalah penjaga nilai kebersamaan dan tanggung jawab bersama terhadap lingkungan.

Ketika ada ancaman dari luar seperti tambang ilegal atau pembukaan lahan besar-besaran, tokoh adat biasanya menjadi garda terdepan dalam menyuarakan penolakan. Mereka berbicara atas nama komunitas, membawa suara leluhur dan alam. Mereka juga bekerja sama dengan sekolah, pemerintah desa, dan pemuda untuk menyampaikan bahwa hutan dan tanah adat bukan untuk dijual, tapi untuk dijaga dan diwariskan.

 

Untuk itu, sebagai generasi muda, kita perlu belajar dari tokoh adat. Dengarkan cerita mereka, pelajari aturan adat, dan hormati nilai-nilai yang sudah diwariskan turun-temurun. Tokoh adat bukan hanya bagian dari masa lalu, tetapi juga bagian penting dari masa depan. Jika kita bekerja bersama mereka, maka kita bisa menjaga alam dan masyarakat kita tetap seimbang dan lestari.